Selasa, 17 September 2013

Selalu ada untuk yang di kehendaki-Nya


Remaja itu duduk menatap ratusan bunga yang setia menebar keindahannya setiap saat, setiap ada orang yang mampir di taman ini. Seperti yang dilakukan Faiz, anak lelaki yang berusia 18 tahun yang baru seminggu telah lulus dari seragam putih-abu abu.

Faiz menatap warna-warni bunga tapi kali ini ratusan bunga itu tidak mempu menarik perhatian senyum dari faiz. tak kala Faiz hadir ditaman ini bukan untuk mengisi rasa bahagianya melainkan ingin menyendiri. Memikirkan dan mensyukuri bahwa betapa kerja kerasnya orang tua yang tiap hari banting tulang, peras keringat, berjalan di dinginnya malam, hanya untuk membiayai faiz sekolah dan menafkahi tiga adik faiz yang masih berusia dua, tiga dan lima tahun.

Kehadiran faiz juga kali ini, ia ingin bermunajat kepada Pencipta langit dan bumi beserta isinya tentang apakah dia mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi? sedangkan dia terkadang bukan matanya yang menangis tapi hatinya yang menangis ketika melihat ayahnya pulang larut malam dengan wajah letih penuh debu dan ibuknya yang mundar mandir dari rumah ke rumah-rumah tetangga untuk mencuci pakaian. Tidak tega dan merasa bersalahlah faiz. Bukan matanya yang merah tapi hatinya yang perih.

Siang ini angin sopoi-sopoi menyambar ratusan bunga itu. Ratusan bunga itu menari-nari dengan irama angin seakan mengajak faiz ikut menari, melupakan sejenak pikiran yang memenuhi benaknya.

Faiz teringat perkataan ibuknya "Kau harus bisa sekolah tinggi-tinggi, nak. Cukup ibuk dan ayahmu saja yang hanya sampai SMP". Dan perkataan itu faiz pegang sungguh-sunggu. Dapat dilihat dari nilai dan prestasi yang dia raih. Hampir tiap tahun Faiz mendapat prestasi siswa terbaik. Tetapi disisi lain ia tidak tega melihat orang tuanya lebih bekerja keras untuk membiayai sekolahnya nanti yang kian mahal. Sekolah tidaklah mudah baginya, semakin meninggi semakin mahal pula.

Matanya kini mulai berkaca-kaca. Hembusan nafasnya lebih lepas terhembus. Matahari mulai naik tepat diatas garis kepala. Banyangannya tidak terlihat disis kiri, kanan, belakang dan depan melainkan banyangannya kini sejajar dengan tubuhnya. Menandakan pukul 12 siang. Suara dari menara mesjid dekat taman berseruh mengajak Umat islam untuk melaksanakan kewajibannya.

Faiz beranjak dari duduknya, berpamitan dengan ratusan bunga yang masih dan akan tetap menebar pesonanya. Ia menuju mesjid yang terdekat dari taman.

Saat di sujud terakhir dalam sholatnya ia bermunajat agar diberi jalan yang terbaik. Diberikan petunjuk sebagaimana orang-orang sebelumnya.
Tak kala saat salamnya, balik ke kiri, matanya menangkap Lelaki tua yang tak asing baginya. Lelaki yang memberikan pidato selamat atas kelulusan semua siswa di SMAnya kemarin. Lelaki, bapak kepala sekolah.

Seusai sholat mereka, Faiz dan Kepala sekolah, duduk kembali ditaman dan menemui kembali ratusan bunga yang selalu menebar pesonanya.

"Rencananya mau lanjut kuliah dimana atau kau mau langsung kerja, Faiz?". Kepala sekolah mengajaknya membicarakan sesuatu yang tak ingin faiz jawab.

"E' anu pak, saya juga belum pikir, Pak". Faiz hanya menatap datar kakinya yang ia ayun-ayunkan.

"Kok, belum dipikir?" Kepala sekolah menatapnya. Faiz hanya diam dan tetap menatap kakinya.

"Oiya, Faiz, kemarin baru tiba surat dari Universitas yang setiap tahun mengambil siswa terbaik dari lulusan sekolah kita".kepala sekolah membuat faiz berhenti mengayunkan kakinya dan menatap kepala sekolah.

"Katanya tahun ini universitas itu menerima siswa lulusan terbaik lagi, kalau siswa yang terbaik itu mau sih.Tapi universitas itu mau secepatnya dikabarin supaya nama siswa itu bisa di ikut sertakan dalam beasiswanya". Lanjut kepala sekolahnya.

"Dan saya ingin tanya dan mendengar jawaban langsung dari siswa terbaik itu mau atau tidak menerima tawaran itu. Apakah kau mau, Faiz?" Tanya kepala sekolah kepada siswa lulusan terbaik disekolah yang ia pimpin.

Kini, ratusan bunga itu berhasil menarik perhatian remaja berusia 18 tahun itu yang baru saja lulus SMA dan akan melanjutkan pendidikannya dengan deretan beasiswa.

Kini, matanya tidak lagi berkaca-kaca melainkan menumpahkan air mata.
Kini, Hatinya tidak terasa perih lagi melainkan menjelma menjadi teriakan kemenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar